Masyarakat Modern

0 comments
Sore itu tepat jam 7 malam. Sebuah ruangan kelas di salah satu sekolah disulap menjadi tempat untuk mengadakan pertemuan, Dengan pola setangah melingkar kursi-kursi itu ditata sedemikian rupa. Dengan wajah-wajah yang penuh semangat dan optimisme mereka siap mendengarkan sang motivator untuk memulai motivasinya. Kecuali saya, dengan tampang kucel dan membosankan saya berusaha menikmati pertemuan tersebut. Hal ini disebabkan karena saya tidak bisa berada dalam satu ruangan dengan orang-orang yang tidak saya kenal, selain itu mungkin karena saya cukup capek seharian bekerja. Akhirnya sang motivator mulai beraksi. Sang motivator meminta para peserta untuk menyebutkan apa goal yang ingin dicapai dan berikan 5 alasannya kenapa memilih itu. Sesuai dengan permintaaan sang motivator semua peserta menyebutkan goalnya masing-masing disertai dengan alasan kenapa memiliki goal tersebut. Dari sejumlah goal/tujuan yang ingin dicapai oleh para peserta saya menyimpulkan sebagian besar dari peserta tersebut goalnya adalah memiliki mobil, alasannya saya simpulkan adalah untuk bisa tampil keren dan agar bisa dikatakan sukses.

Diluar seminar motivasi itu saya juga sering mendengarkan cita-cita dari teman-teman saya, kebanyakan dari mereka memiliki cita-cita ingin memiliki mobil pribadi. Alasannya pun bermacam-macam, mulai dari memudahkan kalau ingin pergi kemana-mana, agar tidak kehujanan, agar tidak kepanasan, agar tampil keren, agar terlihat sukses, dan banyak lagi. Tidak salah juga kalau mereka mempunyai cita-cita seperti itu, karena mobil sangat membantu aktifitas mereka sehari-hari. Dan masyarakat kebanyakan juga menilai orang yang memiliki mobil adalah orang yang sudah sukses dalam hidupnya.

Pemikiran liar saya mulai menggelitik saya. Bagaimana seandainya cita-cita mereka terwujud semua. Entah berapa ribu mobil akan memenuhi jalan raya, dan entah berapa hektar sawah yang akan dikorbankan untuk dijadikan jalan raya. Dari sebuah berita saya baca kalau jumlah kendaraan yang beredar di Bal saat ini adalah 2,7 juta unit, jumlah mobil yang beredar sejumlah 600 ribu unit. Bayangkan saja jika semua cita-cita mereka terwujud untuk memiliki mobil. Entah berapa juta mobil akan memenuhi jalanan. Jangan salahkan pemerintah daerah yang tidak bisa membebaskan jalan dari kemacetan. Kesalahannya sebenarnya bukan ada pada pemerintah, tetapi ada pada masyarakatnya yang tingkat kesadarannya kurang. Hanya keluar kedepan gang menggunakan mobil. Padahal kalau dilihat dari segi efisiensi itu sangat tidak efisien dan merupakan sebuah pemborosan.

Mungkin ini merupaka tabiat orang-orang yang hidup di jaman modern yang lebih menekankan gengsi ketimbang efisien dan simpel. Suatu hari teman di kantor saya mengeluhkan smartphonenya yang lelet. Keluhan ini terjadi tidak hanya hari itu, tetapi hampir setiap pagi dia mengeluhkan hal yang sama dan keluhan-keluhan lain dari smartphone. Sampai suatu ketika saya nyeletuk bertanya "kalau sudah tau smartphone merepotkan seperti itu kenapa tetap dipakai dan kenapa tidak dijual saja?". Jawabannya sederhana, "karena smartphone ini sedang in saat ini". Kemudian saya lanjut bertanya, "itu hape dipakai apa aja?". Jawabannya "nelpon, smsan, dan chating-chatingan".

Dalam hati saya berkata, "Mungkin ini yang namanya korban marketing dan korban iklan atau mungkin korban trend". Rela menggunakan handphone yang lemot dan berbagai keluhan lainnya hanya untuk mingikuti trend. Segudang fitur canggih dimiliki handphone tersebut tetapi tidak semua orang bisa memanfaatkan fitur tersebut sesuai dengan fungsinya. Tidak sedikit orang hanya menggunakan smartphone hanya untuk nelpon, smsan dan chating. Bukankah handphone biasa juga bisa seperti itu. Mungkin inilah yang namanya masyarakat modern.

Bahagia Tidak Harus Dengan Uang

0 comments
Saya lahir dikeluarga sederhana, jadi bisa dibilang keluarga kami jarang memiliki uang dalam jumlah yang banyak. Tetapi dengan jumlah uang yang tidak banyak tersebut orang tua saya mampu menghidupi keluarga dan menyekolahkan saya.
Ketika masih duduk dibangku sekolah dasar dan SMP mungkin karena saya bersekolah di Desa, kondisi keuangan yang paspasan tidak begitu berpengaruh terhadap saya. Namun ketika saya mulai duduk di bangku SMA saya mulai minder. Saat itu saya bersekolah di sebuah SMA unggulan. Saat teman-teman bisa membeli hand phone saya hanya bisa meminjam atau melihatnya saja. Saat teman-teman kesekolah dengan sepeda motor saya hanya bisa menunggu salah seorang teman menjemput saya. Bahkan setelah saya lulus SMA saya semakin minder karena teman-teman dengan mudahnya bisa melanjutkan kuliah.
Untuk bisa kuliah orang tua saya memerlukan waktu dua tahun untuk mengumpulkan uang. Akhirnya tahun 2008 saya bisa melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri. Namun kondisinya semakin parah karena saya merasa semakin minder dengan gaya hidup teman-teman di kampus. Saya sadar untuk mengikuti gaya hidup teman-teman di kampus itu rasanya tidak mungkin, karena dalam satu bulan saya hanya mendapatkan uang saku sebesar 200.000. Saat itu saya berfikir seandainya saya mempunyai banyak uang saya pasti bisa seperti mereka. Pada saat itu saya memiliki kesimpulan dengan memiliki banyak uang pasti saya bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginan saya, dan tentunya saya akan bahagia dengan memiliki banyak uang. Sehingga pada saat itu saya bersemangat belajar untuk bisa cepat lulus dan segera mendapatkan pekerjaan, dengan demikian saya akan memiliki uang sendiri.
Akhirnya saya bisa menamatkan pendidikan saya dan sebelum diwisuda saya sudah mendapatkan pekerjaan. Diawal-awal bekerja saya sering membayangkan kebahagiaan si bos. Dengan jumlah uang yang banyak pasti si bos hidupnya bahagia tidak kurang satu apapun. Malam bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan kreditan. Namun pemikiran tersebut berubah setelah saya bekerja beberapa lama di perusahaan tersebut. Si bos sering mengeluhkan tidak bisa tidur memikirkan kondisi perusahaan, pikirannya dijejali karyawan yang menurutnya tidak sesuai dengan harapan, dan banyak lagi ketidak tenangan yang bisa saya rasakan. Hal yang seperti ini tidak terjadi hanya sekali tapi berulang-ulang, sehingga saya berfikir ternyata uang yang banyak tidak bisa membuat orang benar-benar bahagia dan tenang.

Memang kalau dipikirkan secara logika memiliki uang yang banyak pastinya harus ada usaha yang banyak pula. Usaha yang banyak akan menuntut kita untuk berfikir dan berbuat banyak hal. Pikiran dan pekerjaan terlalu banyak tentunya juga akan mempengaruhi fisik dan pribadi seseorang. Ditambah lagi dengan cerita salah seorang keluarganya yang tinggal di Surabaya yang jauh lebih kaya dari pada si Bos, karena memiliki penyakit yang kronis untuk berjalan saja dia tidak bisa, makan harus sesuai dengan takaran. Seketika penilaian saya terhadap uang yang banyak menjadi berubah. Ternyata uang tidak mutlak membuat orang menjadi bahagia. Penilaian saya terhadap uang tidak mutlak membuat orang menjadi bahagia semakin kuat ketika saya memperhatikan keluarga kerabat saya. Hubungan keluarga mereka retak setelah mereka menjual tanah warisan keluarganya. Dengan nilai penjualan yang cukup banyak menimbulkan masalah baru ketika mereka mengelola hasil penjualan.

Saya jadi teringat akan pesan bapak saya. Bapak saya selalu berpesan "Utamakan yang ada" atau dengan kata lain Syukuri apa yang kita miliki. Selama kita tidak bisa mensyukuri apa yang kita miliki saat ini kita tidak akan pernah merasa bahagia, karena kita akan selalu merasa kekurangan, kekurangan dan semakin kekurangan. Bagaimanapun kondisinya kita harus bisa mensyukuri karena diluar sana banyak orang yang tidak seberuntung saya. Meskipun dengan uang yang pas-pasan saya bisa menamatkan pendidikan bahkan sampai keperguruan tinggi. Meskipun saya lulus tidak dengan predikat cumlaud saya bisa mendapatkan pekerjaan sebelum diwisuda. Meskipun gaji saya tidak besar saya bisa memenuhi kebutuhan hidup saya tanpa meminta lagi dari orang tua. Meskipun uang saya tidak sebanyak yang dimiliki si bos tetapi jam 10 malam saya sudah bisa tidur nyenyak. Kalau kita bisa bersyukur banyak hal yang bisa kita syukuri dalam hidup ini. Mari bersyukur.

Copyright © Bagibagiblog